Cerita Pertama:
Aku disini mau membagi pengalamanku...
Sebenarnya untuk hal ghaib bukan sesuatu yang aneh buat aku,
karena aku bisa melihat semua itu kapan saja aku mau...
Di sebuah malam aku pergi ke luar kosan sekitar jam 2 malam,
untuk mencari makanan karena merasa kelaparan. Aku susuri gang yang cukup gelap.
Ada 3 pohon yg berjajar seperti pagar meskipun jaraknya
tidak begitu dekat. Saat aku melewati pohon pertama (seperti pohon pete china),
aku merasakan ada sesuatu yang meniup kepalaku dari belakang. Aku tak
menghiraukannya, dan melanjutkan niatku untuk mencari makanan.
Melewati pohon kedua seperti ada yang memanggilku...
"Antosan…", suara itu terdengar. Akupun tak
menghiraukannya.
Tapi disaat aku melewati pohon ke tiga, ada sesosok wanita
yg jalannya tidak menapak, bergaun batik seperti pengantin parasnya cantik
namun pucat pasi. Aku terhenti dan membiarkan sosok itu menghampiriku....
"Neng, abdi hoyong uih....!!", (dalam bahasa
Indonesia: 'Mbak, saya ingin pulang ...!'), dia berkata dan berusaha
memegang tanganku.
Aku terdiam dan menganggukan kepala. Aku
menghampirinya dan bertanya, "Naha teteh aya di dieu? uih
kamana??" ('kenapa km di sini? pulang kemana?')
Dia hanya terdiam dan melepaskan pandangannya dari mata
saya....
Jika aku lihat, wanita itu meninggal karena sebuah
kecelakaan saat dia akan melangsungkan akad nikah dan membuat dia tidak jadi
menikah.
Aku berlalu dan membiarkan dia di belakang, tanpa saya
sadari sosok itu mengikutiku sampai ujung jalan.
Aku menengok ke belakang dan berkata "uih we teh, tos
wengi! dongkapan we saderek teteh abdi teu tiasa ngabantos!" ('pulanglah,
sudah malam. datang saja pada sodaramu, saya tidak bisa membantu!'), sosok itu
pun tersenyum dan menghilang....
Ketika saya pulang setelah membeli nasi goreng, melewati
jalan dan gang yang sama dengan yang aku lewati sebelumnya. tercium wangi
parfum seorang pengantin bercampur bau melati.
(Myh Melinda)
Cerita kedua:
Bus ini memang cukup terkenal di kalangan masyarakat Jawa
Timur dan Jawa Tengah bagian Timur. Armada bus ini terkenal karena kebiasaan
ugal-ugalannya. Selain itu, angka kecelakaannya juga termasuk tinggi. Tak heran
nama Sumber Kencono ini sering dipelesetkan oleh masyarakat menjadi
"Sumber
Bencono" alias "sumber bencana". Bahkan, suatu
ketika bus ini pernah dibakar di Ngawi oleh massa karena menabrak pengendara sepeda
motor hingga tewas. Mungkin karena ingin mengubah image, nama armada ini
akhirnya diganti menjadi seperti itu (Sumber Selamat).
ini ada salah satu kisah nyata cerita mistis teman TS >boleh percaya boleh gak<
ini ada salah satu kisah nyata cerita mistis teman TS >boleh percaya boleh gak<
Dingin, aku merapatkan jaketku. Entah sudah berapa batang
rokok yang kuhabiskan menunggu bis sialan ini. Kulihat jam di tanganku sudah
menunjukkan pukul 12 malam. Mataku sampai bosan melihat ke arah jembatan layang
Janti. Sudah hampir dua jam aku menunggu di sini, bener-bener brengsek, tak
satupun bis yang mau berhenti. Mana sendirian pula, jadi agak-agak merinding,
campuran antara takut ada preman kesasar sama aroma mistis malem Jumat Kliwon
yang dikenal orang Jawa sebagai malam keramat.
Dari arah barat kulihat sepeda motor melambat, nampaknya dia
mau nunggu bis juga. Yang dibonceng seorang pemuda gondrong dengan jaket
bergambar lambang salah satu perguruan tinggi di ringroad utara, dia turun
sambil melepaskan helmnya.
"Ati-ati dab!" Si pengendara motor muter balik
sambil melambaikan tangannya.
Lumayan, ada barengan di sini, minimal kalo sampe ada yang
mau malak bisa kabur ke arah berlainan biar premannya bingung mau ngejar yang
mana.
Ndak usah ketawa, aku males berantem sama orang ndak mikir
masa depan macem preman jalanan, sedikit trauma juga gara-gara dulu waktu ribut
sama preman mereka seenaknya ngeluarin pisau. Lha siapapun yang kena kan pasti
berurusan sama polisi, dia mungkin mikirnya masuk tahanan ndak masalah, bisa
makan gratis. Kalo aku? Bisa digebuki bapakku!
"Mau pulang ke mana Mas?" Sapaku mencoba beramah
tamah.
Blah! Sombong sekali mas satu ini, berapa kali aku menyapa
tak sekalipun dia menjawab, pura-pura gak denger, sok-sok sibuk ngliat arah
datangnya bis di arah jembatan layang. Ini mungkin yang pernah dibilang Simbah
di kampung, wong Jowo ilang Jowone, sudah ndak tau tata krama.
Untunglah tak berapa lama kemudian bisnya datang, Sumber
Kencono, bis legendaris jurusan Jogja-Surabaya, dan kali ini bisnya mau
berhenti. Si Mas gondrong naik duluan, eh lha kok aku baru naik satu kaki si
bisnya udah jalan lagi, bener-bener gak sopan! Tapi mungkin memang sudah jadi
kebiasaan, karena jadwal keberangkatan antar bis yang kadang cuma selisih 5
menit membuat mereka ndak bisa berhenti lama-lama, kuatir mepet sama yang
belakang.
Tumben baru sampe Janti saja bisnya sudah penuh, ada satu
dua kursi yang kapasitasnya tiga orang baru ditempati dua orang tapi penumpang
yang di situ gak ada yang menawarkan tempat duduk padaku. Lebih tepatnya mereka
gak bereaksi apapun saat aku permisi mau duduk. Blah! Makin lama makin
keterlaluan orang-orang ini, terbiasa hidup sendiri-sendiri mungkin, sudah
hilang segala macam ramah tamah yang konon dulu pernah jadi salah satu ciri
orang sini.
Untung ada tiga kursi kosong di bangku paling belakang, tak
perlu permisi, lega juga, bisa naikin kaki, mungkin sambil klebas-klebus
ngrokok untuk mengusir bosan nanti. Peduli setan sama orang-orang bakal
terganggu atau tidak, wong mereka disapa gak menyahut, harusnya diganggu juga
gak protes! Sekarang yang penting merem dulu, kompensasi dari berdiri hampir
dua jam waktu nunggu bis tadi.
Bis sudah melaju sampai daerah Kalasan, biasanya di sini
kondektur sudah narik bayaran dari semua penumpang, tapi heran, kok dari tadi
gak ada yang njawil padahal duit sudah aku siapkan. Terserah lah, kalo nanti
gak mbayar ya malah bersukur tho.
Tunggu dulu, sunyi waktu naik bis di malam hari sudah biasa,
tapi sepertinya yang sekarang ini terlalu sunyi. Mungkin ada satu dua celoteh
pelan terdengar, tapi kenapa dari tadi ekspresi orang-orang ini terlalu datar?
Lebih tepatnya gak ada ekspresi yang tergambar di wajah. Bahkan orang di
sebelahku pun seperti gak merasakan kehadiranku.
Aku jadi sedikit merinding, dulu mbakyuku pernah bilang,
kalo malem jangan nunggu bis dari janti, lebih baik dari terminal saja karena
konon ada bis hantu yang suka ngambil penumpang di situ.
Bis hantu?
Iya, bis hantu. Selentingan kabar mengatakan bis ini
mengalami kecelakaan parah dan semua penumpangnya tewas, waktu kita naik itu
semua penumpangnya berwajah pucat dan tidak menghiraukan kehadiran kita.
Konon
kalo naik bis itu dari Jogja bisa sampai ke Surabaya dalam waktu gak sampai
tiga jam, tapi kalo lagi gak beruntung bisa juga gak sampai Surabaya, kita
malah dibawa ke alam antah-berantah. Lebih celaka lagi katanya bis hantu itu
Sumber Kencono yang memang terkenal suka kebut-kebutan.
"Mas, Sampeyan mau turun mana?" Aku mencoba
menyapa penumpang di sebelah, sekaligus mengusir rasa penasaran, masa iya ada
bis hantu.
Dia gak menjawab, lebih tepatnya bereaksi seperti semua
orang yang dari tadi kusapa, gak ada ekspresi. Ini mulai menakutkan. Kucoba
menepuk bahunya agar dia menanggapi sapaanku. Sial! Tanganku menembus bahunya!
Dia tidak nyata, dia bukan manusia!
"Pak! Kiri pak! Saya turun sini!" Teriakku panik,
tapi mereka tetap dingin tanpa ekspresi.
Sialan! Mungkinkah aku akan terbawa ke alam gaib seperti
yang orang-orang pernah ceritakan? Bulu kudukku merinding, badanku terasa
dingin. Tapi percuma panik sekarang, aku mencoba mengingat doa-doa yang
diajarkan Simbah dulu, sial, lupa semua!
Hampir tanpa sadar, aku meraih sebatang rokok, kunyalakan
perlahan dan kuhisap dalam-dalam untuk mengusir tegang.
"Cak, kok bisnya bau kemenyan?" Penumpang di
sebelahku mendadak menutup hidung, menatap lurus seakan menembusku dan bertanya
pada kenek yang berdiri di pintu belakang.
"Gak papa Mas, kadang memang suka tercium bau kemenyan.
Katanya dulu di Janti situ pernah ada penumpang lagi nunggu bis meninggal
ditusuk waktu ribut sama preman, kalo malem Jumat Kliwon kayak sekarang ini katanya
dia suka ikut naik bis. Kasian, mungkin matinya gak tenang."
Aku termangu, dan bis terus melaju..
(Hendra Setiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar